Selasa, 15 Juli 2008

Reformasi dan Etika Politik

Reformasi dan Etika Politik
Oleh: Abdoel Fattah

Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 telah membawa harapan besar, antara lain tumbuhnya kehidupan politik termasuk kehidupan demokrasi yang sehat, penyelenggaraan negara yang baik, bersih, dan stabil, supremesi dan penegakan hukum, pemberantasan KKN, otonomi daerah, kebebasan pers yang bertanggung jawab, dan terwujudnya profesionalisme TNI dan Polri yang tidak berdwifungsi lagi.
Sepuluh tahun era reformasi telah berjalan, namun segala harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud, bahkan masih jauh dari harapan. Orde reformasi yang diharapkan menjadi orde masyarakat yang terbaik dan menggambarkan nilai-nilai “seharusnya,” masih mengalami banyak hambatan. Salah satu penyebabnya adalah karena para pelaku politik (dan ekonomi) telah mengabaikan prinsip moral dan etika politik dalam sepak terjangnya. Jika politik diartikan sebagai cara yang bijak dan cerdas untuk mencapai tujuan bersama bangsa, dalam kenyataannya pada saat ini belum menjadi kenyataan. Jika politik dimaksudkan sebagai perjuangan demi gagasan-gagasan untuk kepentingan bersama masyarakat, tetapi nampaknya justru kepentingan pribadi atau kelompok elite politik yang lebih menonjol yang tidak peka atas nasib rakyat banyak.
Politik memang untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, masalahnya kekuasaan itu digunakan untuk apa dan siapa. Politik juga merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia seperti dikatakan oleh Hannah Arendt. Masalahnya pengabadian diri bersifat positif atau negatif. Apakah melahirkan citra baik atau justru melahirkan citra jahat.

Beberapa Ekses Reformasi
Reformasi telah melahirkan kebebasan. Namun, banyak yang lupa bahwa kebebasan ada batasnya demi kepentingan bersama masyarakat. Lagi pula kita tidak menganut paham individualisme dan liberalisme. Jika kebebasan tidak ada batasnya, akan hilang kebebasan itu sendiri karena dihisap oleh hawa napsu yang bisa mengakibatkan chaos dan anarki dan malah bisa melahirkan “doomday.” Kebebasan seharusnya tidak dikendalikan oleh hawa nafsu untuk memenuhi tujuan sesaat dan untuk memenuhi kehidupan dunia semata yang melupakan tujuan jangka panjang dan tujuan akhir hidup, apalagi merugikan masyarakat. Oleh karena itu, di samping perlu kemampuan intelektual untuk memecahkan masalah logika dan rasional, setiap manusia harus memiliki kecerdasan emosional untuk melihat sesuatu dengan mata hati dan perasaan, memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, membangun empati, kepedulian sosial, solidaritas, interaksi sosial yang tinggi, dan bersikap simpatik.
Lebih penting lagi adalah orang harus memiliki kecerdasan spiritual yang membimbing pada suara hati nurani yang jernih dan mengarahkan kepada al nafsu al mutmainah, memberikan kekuatan moral, memberikan kepastian tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, serta menyeimbangkan antara hubungan dengan Tuhan dan antara sesama manusia untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna dan nilai, agar hidupnya lebih bermakna, selamat di dunia dan di akherat. Orang yang memiliki kecerdasan dan kekuatan spiritual, seluruh perbuataanya ditujukan untuk mengabdi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, tidak menghiraukan pujian orang lain karena perbuatannya bukan ditujukan untuk mendapatkan pujian. Mereka yakin Allah mengetahui perbuatannya dan akan memberi balasan. Mereka mencari karunia dan keridhoan-Nya untuk meraih kabahagiaan di dunia dan akherat. Jika hal itu dapat terwujud pada semua orang, termasuk politisi, alangkan indahnya kehidupan karena manusia akan selalu berbuat baik, jujur, berbudi pekerti luhur, bekerja keras, berdisiplin, bersemangat tinggi, dan berakhlak mulia.
Pada saat ini banyak pelaku politik (dan ekonomi) yang tidak menyadari atau mengabaikan hakekat tujuan hidup, tujuan bermasyarakat, dan tujuan bernegara sehingga membuat kondisi sangat memprihatinkan. Pada tahun lima puluhan, Bung Hatta pernah menggambarkan perilaku para politisi antara lain sebagai berikut: “Segala pergerakan dan semboyan diperalat mereka, partai-partai ditungganginya untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka, timbulah anarki dalam politik dan ekonomi, kelanjutannya korupsi dan demoralisasi merajalela” (Feith & Castles, 1988).

Apakah gambaran itu juga cocok dengan kondisi saat ini? Jawabannya bisa didapat jika dicermati antara lain bagaimana kehidupan politik (dan kepartaian); bagaimana perilaku politisi dan cara meraih kekuasaan serta untuk apa kekuasaan digunakan; bagaimana kehidupan ekonomi, “politik uang,” KKN; bagaimana kepatuhan terhadap hukum, tatakrama dan ketaatan pada moral dan etika. Banyaknya penyelenggara negara yang melakukan KKN, masih maraknya “politik kekerasan,” kebringasan, dan praktik “politik uang,” merupakan beberapa contoh saja. Ini juga mengindikasikan bahwa penegakan hukum belum sepenuhnya berhasil, bahkan masih banyak aparat penegak hukum sendiri tidak bersih yang melanggar hukum. Sementara otonomi daerah yang dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat masih banyak menimbulkan permasalahan yang terkadang justru merugikan rakyat. Walapun begitu, harus diakui juga masih banyak yang memiliki hati nurani yang dapat berfungsi baik, memiliki moral dan etika dalam berpolitik, dan berpikir dalam skala jangka panjang.

Pentingnya Moral dan Etika
Pada hakekatnya, kejahatan dan perilaku yang menyimpang dapat terjadi jika ada persentuhan antara niat dan kesempatan. Oleh karena itu, walaupun pencegahan dan penindakan secara fisik sangat diperlukan, tidak boleh dilupakan upaya menghilangkan niat berbuat dan berperikau jahat atau tidak benar.
Di sinilah perlunya masalah moral dan etika diketengahkan. Moral merupakan nilai yang menentukan baik-buruk, benar-salah, yang akan dirasakan oleh manusia yang meyakini hidup ini punya makna. Moralitas adalah norma atau standar tingkah laku yang didasarkan atas pertimbangan benar-salah, baik-buruk. Persoalan moral adalah bagaimana manusia menahan diri sendiri, menunda kesenangan atau keinginan dan tidak hanya mementingkan diri sendiri. Lain halnya dengan binatang yang tidak bisa mengendalikan diri, karena binatang tidak memiliki moral. Moral bersifat normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik dan buruk yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden, yaitu keseluruhan dari kewajiban-kewajiban manusia. Moral mengacu pada baik buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya, dan cara pengungkapannya (Haryatmoko, 2003).
Jadi, moral merupakan hal yang harus dilakukan manusia. Moral menunjuk kualitas dan martabat kepribadian manusia. Tingkat moral merupakan harkat dan martabat manusia secara normatif. Pribadi yang dapat menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai kebajikan, serta menegakkan hak asasi yang seimbang dengan kewajiban asasi adalah contoh manusia yang memiliki kesadaran moral yang memadai. Sedangkan etika membahas makna moral, merupakan pemeliharaan sistematis tentang moralitas atau menyangkut upaya menjadikan moralitas sebagai landasan berperilaku. Dalam Islam bisa disebut akhlak sebagai pranata perilaku yang didasarkan pada nilai ihsan, nilai iman, dan nilai Islam. Sering dikenal akhlakul karimah yang bersumbar pada nilai Ilahiah (al-Qur’an dan Sunnah) yang mengatur ibadah dan mu’amalah, dan nilai Duniawi yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Menurut etika Islam, akhlak harus berkualifikasi ihsan untuk mencapai al-Islam. Pengtingnya akhlak mulia itu sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW “ Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan keutamaan akhlak.”
Etika politik merefleksikan kualitas moral para pelaku politik dan sekaligus masalah tatanan hidup kemasyarakatan, hukum, keadilan, karena etika politik akan berpegang pada nilai-nilai, norma, etik, dan moral. Etika politik melandaskan pada nilai keluhuran dan moral, dan tidak bertolak dari pandangan Machiavelli yang dijuluki teacher of evil karena membolehkan cara-cara yang jahat untuk mencapai tujuan. Etika politik merupakan abstraksi moral untuk memberi arti bagi kehidupan politik, yang pada gilirannya akan memacu berfungsinya hati nurani para pelaku politik yang dimanifestasikan dalam tindakan. Etika politik menunjukkan tentang baik-buruk, benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan politik, sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban pelaku politik yang harus diikuti agar bersikap dan berperilaku benar, lurus, bersih, terpuji, dan konsisten memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Ada tiga dimensi etika politik, yaitu tujuan politik, sarana, dan tindakan politik (Benhard Sutor, 1991). Tujuan dapat dilihat misalnya apakah ada upaya mencapai kesejahteraan rakyat (bukan pribadi), kedamaian (bukan kebringasan, kekerasan, chaos dan anarki), keadilan (bukan ketimpangan), kebebasan (bukan pengekangan dan penekanan). Indikasinya akan terlihat seberapa jauh substansi pencapainnya. Sedangkan dimensi sarana untuk mencapai tujuan dapat dilihat dalam sistem politik yang berlaku, adanya good governance and clean government, tersedianya aturan yang baik, dan sebagainya. Dimensi tindakan dapat dilihat pada tindakan para politisi yang pencapaiannya terletak pada rasionalitas tindakan politik dan pendasarannya pada moralitas dan harus memperhitungkan berbagai segi yang tidak melukai hati rakyat dan rasa keadilan, tetapi untuk kesejahteraan rakyat.
Reformasi yang diharapkan dapat mewujudkan kehidupan demokrasi yang sehat, ternyata belum dapat menampakkan substansi dan rasionalitasnya. Dalam demokrasi juga mengenal etika agar dapat berlangsung dengan sehat dan berkeadaban. S.L. Carter (1998) mengetengahkan pentingnya nilai-nilai keadaban (civility) dikukuhkan dalam praktik kehidupan demokrasi. Civility merupakan suatu konsep pembangunan politik yang mengetengahkan kesopanan, kesantunan, tata krama, kejujuran, keadilan, moral dan etika dalam kehidupan demokrasi. Etika demokrasi menuntut saling menghormati dan menghargai, santun dan beradab dalam memberikan kritik, menuntut pengorbanan bagi orang lain dan menuntut terciptanya kehidupan moral dan mengikuti norma-norma yang berlaku. Civility mengharuskan adanya kesetaraan, dialog, kompromi, dan toleransi, serta tidak ada satu pihakpun yang berhak memaksakan kehendaknya, tetapi menuntut sikap empati dan berfungsinya hati nurani yang terwujud dalam perilaku politik yang santun. Sedangkan Carol Gould (1993) menunjukkan unsur-unsur karakter yang demokratis antara lain resiprositas, toleran, fleksibel dan terbuka. Demokrasi juga mengembangkan pertisipasi dan kebebasan (bukan “keblablasan”) tetapi tetap dapat menciptakan stabilitas yang dinamis dan akuntabel.

Peran Pemimpin dan Elite Politik
Dalam membangun moral dan etika politik, para pemimpin dan elite politik harus dapat dijadikan sebagai teladan, menjadi sosok yang dapat memberi contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh yang bermoral dan beretika dalam bersikap dan berpelilaku. Pemimpin dan elite politik harus bisa menunjukkan dan memulai dari dirinya sendiri (ibda bi nafsik). Semetara itu, dalam memilih pemimpin dan elite politik kriterita dari segi moral dan etika juga harus dikedepankan. Partai politik yang memiliki peran penyiapan kader-kader pemimpin politik dan memperjuangkannya untuk menempati jabatan politik, harus melakukan seleksi yang ketat dalam rekruitmen dengan kriteria yang jelas dan tegas dari segi maralitas, adil, jujur, dan trasparan. Partai politik harus menjauhi praktik yang tidak bermoral dan tidak beretika, misalnya “menjual” atau “meminjamkan” partai untuk kendaraan dan batu loncatan untuk mobilisasi massa bagi meraih kekuasaan belaka, seperti dalam Pilkada.
Di samping itu, masih banyak partai politik juga belum sepenuhnya dapat melaksanakan fungsinya secara baik dan utuh untuk memerankan diri sebagai pilar demokrasi. Sebagian Parpol terperangkap oleh kepentingan pribadi para elitenya, bukan kepentingan konstituennya atau kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Kebanyakan Parpol belum secara cepat dan jelas menangkap, mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan rakyat. Fungsi pendidikan politik rakyat juga jarang terprogramkan, sementara fungsi sebagai sarana perekat persatuan dan kesatuan bangsa serta manajemen konflik belum merupakan prioritan Parpol, tetapi yang sering nampak dalam beberapa kejadian adalah sikap loyalitas yang sempit, primordialisme, politik aliran, mau menang sendiri, bahkan dalam beberapa hal mengesampingkan prinsip moral dan etika. Itu semua menjadi tantangan Parpol untuk meningkatkan citranya untuk membangun demokrasi yang sehat dan kuat.

Penutup
Reformasi telah melahirkan kebebasan, namun terkadang timbul kebebasan yang melampaui kebebasan demokrasi dan justru bertentangan dengan demokrasi. Semetara masih banyak pejabat negara dan elite politik yang tidak bisa memberi contoh yang baik bagaimana berpolitik atau berdemokrasi yang sesuai dengan nilai, norma, karakter, dan etika politik dan demokrasi. Pada hal demokrasi harus diperjuangkan secara terus-menerus baik dari segi kelembagaan, tradisi, budaya demokrasi, dan perilaku yang demokratis.
Para pemimpin dan elite politik memiliki peran besar dalam penyelenggaraan negara dan m enjayakan demokrasi. Peran itu harus ditunjukkan dalam perilaku dan praktik yang baik yang dilandasi oleh moral dan etika, mematuhi sistem ketatanegaraan serta bersikap dan berperilaku sebagai negarawan. Pembangunan moral dan etika harus menjadi suatu gerakan, juga menjadi basis pendidikan, serta kegiatan kemsyarakatan dan kenegaraan.

Abdoel Fattah, doktor ilmu politik, dosen, dan staf ahli di MPR RI.

sumber: www.google.com

Tidak ada komentar: